Menjelajah Lebih Dalam Vihara Budha Prabha
September 15, 2017
TRAVEL &
ADVENTURE
MENJELAJAH LEBIH
DALAM VIHARA BUDHA PRABHA
JIKA KAWAN RANSEL MELEWATI KAWASAN
GONDOMANAN, KOTA YOGYAKARTA, COBALAH TENGOK SEBUAH VIHARA KELENTENG YANG
BERDIRI KOKOH DI JL. BRIGJEND KATAMSO NO. 3 YOGYAKARTA. NAMANYA VIHARA BUDHA
PRABHA, ATAU KELENTENG FUK LING MIAU, ATAU LEBIH DIKENAL OLEH MASYARAKAT KOTA
YOGYAKARTA DENGAN NAMA KELENTENG GONDOMANAN.
Kata Fuk berarti berkah,
sedangkan kata Ling berarti tiada tara (tak terhingga), dan Miau
berarti kuil atau kelenteng. Jadi, Fuk Ling Miau adalah kelenteng yang diberi
nama “Kelenteng Berkah Tiada Tara”. Tuan rumah kelenteng ini adalah Dewa Amurwa
Bhumi.
Kelenteng Gondomanan pada awalnya
bernama Hok Ling Miau. Konon, vihara kelenteng ini merupakan sebuah rumah
tinggal yang dibangun di dekat Kraton Ngayogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono II (Sultan Sepuh) sebagai pemberian kepada permaisurinya yang berasal
dari Tiongkok. Jadi, bangunan
kuno Kelenteng Gondomanan sudah
berusia 200 tahun.
Kelenteng ini sempat ditinggalkan dan tak terurus selama berpuluh tahun. Bangunan
menjadi tak terawat, dikelilingi rerumputan yang tinggi. Meski bangunan masih
kokoh, namun isinya porak poranda. Tidak ada altar, lilin, dupa, maupun
peralatan sembahyang lainnya. Kondisi juga sangat kotor dan memprihatinkan.
Dindingnya hitam dan banyak yang keropos. Lantainya rusak dan atapnya bocor. Kelenteng
tidak terlihat seperti tempat ibadah.
Pada tahun 1971, kelenteng
‘ditemukan’ kembali oleh Pakme Santoso, Pakme Hu Lan, dan Suhu Ting Ling. Bangunannya masih
kokoh, tetapi warna tonggak bangunan dan atap kelenteng yang khas sudah pudar
ditelan sinar matahari. Temboknya, pintunya, tiangnya, rupa dewanya, semuanya
rusak total. Ruangan juga dipenuhi berbagai sampah.
Kedua Pakme dan Suhu merasa
terpanggil untuk menjayakan kembalil kelenteng ini. Mereka memimpin
para kuli & tukang untuk merenovasi bangunan, tetapi tidak mengubah
bentuk aslinya, hanya menggantikan yang rusak ke bentuk semula. Semua altar
dicat ulang, gambar dinding dilukis kembali, seluruh ubin diganti. Setelah melalui beberapa kali
renovasi dalam jangka waktu bertahun-tahun, kondisi fisik bangunan kini
terpelihara dengan baik.
Fisik bangunan kuno Kelenteng Gondomanan merupakan
kombinasi arsitektur Tiongkok (China) – Jawa. Arsitektur Tiongkok (China)
mendominasi gaya bangunan kelenteng. Terdapat patung, dewa, tulisan, dan
gambaran alam negeri Tiongkok (China). Arsitektur yang bernuansa Jawa terdapat
pada bagian atap ruang sumur langit.
Sumur Langit atau Kolam Teratai
merupakan ciri khas kelenteng. Sumur yang berbentuk persegi empat tempat para
dewa-dewi hadir dan
berangkat. Sumur langit merupakan pintu utama dewa kemakmuran dan sumber rezeki.
Terdapat tiga macam sumur langit, yaitu sumur langit kering , sumur langit
dengan jembatan, dan sumur langit dengan bunga teratai. Sumur langit yang
dimiliki oleh sumur langit Kelenteng Gondomanan adalah sumur langit kering.
Ciri khas Kelenteng Gondomanan terdapat pada sepasang naga langit menghadap
mutiara api dan memiliki altar/pavilion pemujaan dewa dewi. Dominasi warna
merah dan kuning simbol keharmonisan. Keistimewaan Kelenteng Gondomanan ada
pada lapangan terbuka dimana terdapat sepasang pagoda api. Bagian pagar
terdapat 8 tiang dewa. Bagian serambi terdapat 2 tiang naga muda bersama 8
dewa.
Sebenarnya, vihara sama sekali berbeda dengan
kelenteng. Secara singkat, vihara merupakan tempat ibadah umat Budha, sedangan
kelenteng merupakan tempat ibadah umat Konghu Chu (umat pengikut tradisi).
Lalu, bagaimana mungkin dalam satu bangunan digunakan sebagai tempat ibadah dua
kepercayaan sekaligus??? Pada titik inilah terjadi keunikan, dimana pada satu tempat berfungsi sebagai dua
tempat ibadah. Bagian depan sebagai kelenteng yang digunakan untuk beribadah
umat Konghu Chu. Sedangkan bagian belakang sebagai vihara yang digunakan untuk
beribadah umat Budha.
Selain sebagai vihara dan kelenteng, tempat ibadah ini
juga berfungsi sebagai obyek wisata dan pendidikan karena merupakan bangunan
bersejarah dan memiliki nilai historis. Selain dikunjungi umatnya, Kelenteng
Gondomanan kerap mendapat kunjungan dari turis baik turis domestik maupun
turis asing, dan kunjungan pendidikan dari berbagai instansi seperti taman
kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).
Saya berkunjung ke kelenteng ini juga dalam rangka
riset saat kuliah, dulu.
Saya bersama dua kawan saya, Astrid dan Widarti, diterima
sangat baik oleh para pengurusnya meski kami memiliki kepercayaan yang berbeda
dengan mereka. Kami diperbolehkan untuk masuk, menjelajah, dan memotret bangunan
maupun kegiatan di kelenteng ini, dari depan hingga bagian belakang. Meski
demikian, kami wajib menjunjung tata cara yang diterapkan di tempat ibadah ini,
seperti melepas alas kaki, menjaga kesunyian, tidak menyentuh apa pun, dan
lain-lain. Kami tidak hanya sekali atau dua kali mengunjungi kelenteng ini,
mungkin tiga hingga lima kali. Sebagian hasil foto yang kami ambil bisa kalian
nikmati di blog ini.
Usia bangunan Kelenteng Gondomanan ini sudah mencapai
200-an tahun. Maka tak heran, Kelenteng Gondomanan memperoleh predikat warisan budaya Jogja khusus
kategori tempat ibadah dan menjadi salah satu dari sepuluh Bangunan Cagar Budaya
(BCB) Jogjakarta. BCB Warisan Budaya Yogyakarta
Kelenteng Gondomanan dikukuhkan pada tanggal 15 April 1999. Kini, vihara kelenteng bukan hanya
menjadi tempat ibadah saja tetapi juga menjadi sarana belajar.
Ada banyak karya kuno di Kelenteng Gondomanan. Salah satunya Lukisan
dinding bergambar dewa-dewi – merupakan hasil karya lukisan yang menggambarkan
situasi peperangan antara dewa dan siluman, serta terdapat gambaran peperangan
antara kerajaan. Lukisan yang berjumlah 181 buah tersirat gambaran alam para
dewa seperti dewa Chang Khu Lo (Dewa Panjang Umur), Cai Sen (Dewa Kemakmuran),
Fuk Lo Sou, Ho Sien Ku, dan lainnya. Cerita bergambar ini menjadi salah satu
simbol dan daya tarik tersendiri bagi orang yang mengunjungi Vihara Buddha
Prabha – terutama turis domestik maupun mancanegara. Pelukisnya membuat gambar
tersebut seperti aslinya, saat kelenteng berjaya, ratusan tahun lalu. Hal ini sengaja
dilakukan untuk melestarikan gambar aslinya.
Vihara Buddha Prabha berada di
bawah pembinaan Sangha Agung Indonesia wilayah IV (SAGIN IV). Terdapat beberapa
organisasi di vihara ini diantaranya : Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) –
Tingkat DIY, Yayasan Bhakti Manggala Dharma, Sekertariat Bersama
Persaudaraan Muda-Mudi Vihara-Vihara Buddhayana Indonesia DIY (Sekber PMVBI –
DIY), Generasi Muda Cetiya Buddha Prabha (GMCBP), dan Kalyana Putra (KP −
Program Anak Asuh).
Kalau kamu belum pernah mengunjungi kelenteng ini, tak
ada salahnya menjadikan tempat ini sebagai tujuan jalan-jalan kamu selanjutnya.
Dijamin, pengalaman dan pengetahuan kamu akan bertambah…
VIHARA BUDHA PRABHA
Jln. Brigjend Katamso No. 3 Gondomanan,
Yogyakarta Kode Pos 55121. Telp. (0274) 378-084.
[Map]
‒ Teks : Nisya Rifiani ‒
Foto : Astrida Lastiya Kusuma
:: Please don’t copy any materials in this blog without permission ::
Terima Kasih
Referensi :
Majalah Dharma Prabha – Majalah
Buddhis Triwulan Nasional – Edisi 50 / Tahun XX / Januari 2007
Catatan Disclaimer :
Artikel serupa karya saya telah dipublikasikan di
Majalah Remaja BIAS – Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga Provinsi DIY –
Edisi 5 Tahun XV / 2011.
Artikel yang
dipublikasikan di blog ini telah mengalami
perubahan (penambahan maupun pengurangan) dari karya saya yang telah dimuat di
blog sebelumnya maupun di majalah tersebut di atas.
0 comments